Loading...

Ramadhan Di Tengah Musim Panas Inggris

GenerasiHARAPAN - Ramadhan, Beberapa menit yang lalu, ketika saya baru saja membuka akun hootsuite saya, saya terhenyak ketika membaca...


GenerasiHARAPAN - Ramadhan, Beberapa menit yang lalu, ketika saya baru saja membuka akun hootsuite saya, saya terhenyak ketika membaca TL dari Eos Chater (pemain violin Inggris dalam grup band classical crossover music  “Bond”), yang menuliskan kekagumannya terhadap tukang angkut barang yang membawakan barang-barang pindahannya. Di Inggris saat ini –yang kebetulan menjelang pembukaan Olimpiade London 2012- suasananya panas, sehingga bisa membuat gerah setiap orang yang bekerja fisik dengan keras. Eos bercerita,

“My removals man today was fasting and it’s SOOO hot and he was carrying boxes and he wasn’t allowed any water nor nuffink*. Superstrength.”

“Laki-laki yang bekerja membawakan barang-barang pindahan saya hari ini, sedang berpuasa. Suasananya benar-benar sangat panas, sedangkan dia tetap saja membawa berboks-boks barang dan tetap tidak mau diberi air minum atau apapun. Benar-benar berkekuatan super ”

Serta merta saya tanyakan langsung pada Eos, apakah beliau (tukang yang membawa barang-barang pindahan Anda itu) adalah muslim? Eos pun langsung menjawab, “Yes”.

Hal di atas menunjukkan kepada kita bahwa orang yang istiqomah, akan menjadi terhormat di hadapan manusia, termasuk di hadapan orang-orang kafir ahli maksiat. Persis dengan nasehat Syaikh Muqbil yang pernah saya baca dulu bahwa orang-orang yang menjaga prinsip Islam yang benar, kadang bahkan akan dipandang baik oleh orang kafir sekalipun.

Siapa orang Inggris yang tidak mengenal Eos? Lulusan Royal College of Music di London ini terkenal sebaai musisi sejak ikut bekerjasama denganThe Divine Comedy, Cocteau Twins, Julian Cope, Gabrielle dan Mark Knopfler. Kemudian, namanya melambung ketika bersama Gay Yee Westerhoff, Tania Davis, dan Haylie Ecker membentuk kuartet “Bond”. Dengan “Bond” inilah dia tur keliling dunia, termasuk Indonesia. Dan di tengah kehidupannya yang “royal” tersebut, dia masih terhenyak kagum melihat seorang muslim yang teguh berpendirian.

Tunggu dulu teman, puasa di Inggris tidak seperti di Indonesia. Saat ini, rentang waktu puasa di Inggris bisa mencapai 18 jam. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar adanya seorang muslim Inggris dengan pekerjaannya yang berat, tetapi masih tetap menjaga puasa, bagi saya itu merupakan hal yang luar biasa. Berkebalikan dengan banyak atlet muslimOlimpiade London 2012, yang hanya karena ingin meraih medali, mereka mengorbankan harga diri mereka dengan tidak berpuasa. Bahkan, saya sangat terkejut ketika membaca berita beberapa waktu yang lalu bahwa mereka menganggap alasan tidak berpuasa yang mereka lakukan merupakan alasan yang dibenarkan, dan mereka akan menggantinya dengan fidyah. Allahu musta’an. Apakah serendah itukah para atlet itu menghinakan dirinya sendiri?

Yang lebih menyedihkan, para atlet Olimpiade yang memutuskan tidak berpuasa tersebut bukanlah atlet muslim berkewarganegaraan negara kafir, tetapi justru dari nagara-negara muslim, termasuk sebagiannya dari negara-negara Arab.

Kita tidak perlu terlalu larut mengurusi atlet-atlet tak berpendirian tersebut. Namun, sebagai penduduk Indonesia, kita perlu bersyukur bahwa iklim daerah kita sejuk sehingga puasa tidak terasa berat. Di awal Ramadhan beberapa hari yang lalu, ada kawan yang bercerita bahwa rentang waktu puasa di negara-negara belahan utara Eropa seperti Finlandia danDenmark bisa mencapai 20 jam lebih. Teman di Winconsin bercerita bahwa di daerahnya mencapai 16 jam. Demikian pula di Toronto, California dan Ohio. Ada juga kawan di Washington yang bercerita kalau waktu puasa di tempatnya sampai 17 jam.

Dalam variasi waktu yang berbeda-beda (dan lebih lama dibanding Indonesia) itu, saudara-saudara kita tersebut tetap dapat menikmati suasana puasa dan bangga dengan hal itu meski tinggal di lingkungan orang-orang kafir. Lalu, bagaimana dengan kita di negeri khatulistiwa yang penuh kesejukan dan rentang waktu puasa yang relatif pendek ini? Bukankah kita sepatutnya lebih banyak bersyukur?

Kita Lebih Baik di Sini daripada di Inggris, tetapi …
Di antara nikmat yang kita rasakan adalah kita lahir dan hidup di negara berpenduduk muslim, berbeda dengan saudara-saudara kita sesama muslim yang tinggal di negeri kafir, seperti Inggris –misalnya-. Pernah suatu waktu, ada kawan facebook dari Inggris mengirim message menanyakan living cost, dan biaya-biaya lain yang dibutuhkan untuk tinggal di Indonesia. Meskipun di negara maju, ia merasa tidak nyaman tinggal di tengah-tengah komunitas kafir sehingga ingin hijrah ke negeri muslim. Ini benar-benar sangat berkebalikan dengan sebagian masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan, dan berlomba-lomba untuk mengunjungi negara-negara kafir tersebut, bukan untuk hajah yang diperlukan umat, tetapi sekadar wisata. Ada pula yang ingin studi, tetapi niat studinya bukan untuk memajukan kaum muslimin selepas lulus, tetapi sekadar gengsi kuliah di luar negeri, karir dan pekerjaan pribadi semata.

Jangankan saat berkunjung ke luar negeri, di dalam negeri saja banyak masyarakat muslim di sekitar kita yang enggan menampakkan syiar-syiar Islam, bahkan kadang mencemoohnya. Laki-laki berjenggot dibilang seperti kambing, sedangkan  yang bercelana di atas mata kaki dibilang kebanjiran. Sementara itu, wanita muslimah yang berhijab menutup muka sebagaimana pakaian istri-istri nabi, justru dipandang sinis.

Kondisi ini, bila dibandingkan dengan kondisi teman-teman di Inggris yang telah mengenal sunnah, benar-benar membuat hati merasa prihatin. Mereka bangga menampakkan identitas muslim dengan berjenggot bagi laki-laki atau berhijab bagi wanita. Maka, masyarakat Inggris jika melihat laki-laki berpakaian jubah dan berjenggot, langsung bisa menebak bahwa dia adalah muslim. Demikian pula, di saat melihat wanita berhijab gelap, mereka akan mengatakan bahwa dia adalah wanita muslimah. Artinya, beda antara orang kafir dan orang muslim benar-benar terlihat jelas. Nah, coba bandingkan apakah kita bisa mudah membedakan mana laki-laki muslim atau kafir di negara kita ketika kita sedang berjalan di keramaian, di negara kita ini?

Saya pun pernah bertanya pada kawan di Inggris, apakah masyarakat Inggris sedemikian anti dengan Islam, apalagi yang mendakwahkan manhaj salaf? Spontan, kawan saya ini mengatakan “tidak”. Hanya saja, masyarakat Inggris belum bisa membedakan istilah khariji dan wahabi. Masalahnya, di Inggris banyak juga kaum muslimin yang terpengaruh pemikiran khawarij dan menjadi benih teroris, serta ada pula yang menjuluki dakwah sunnah sebagai wahabi.

Yang menarik, para muslimah Inggris yang telah mengenal dakwah sunnah, cukup berbeda dengan muslimah di negara kita dalam hal penggunaan social media. Di tempat kita, dalam satu status seorang ikhwan, bisa jadi akan muncul sangat banyak komentator akhwat di bawahnya. Demikian pula sebaliknya, di status seorang muslimah, banyak juga komentator laki-lakinya. Kalau dalam hal-hal yang memang ada hajah seperlunya, mungkin masih boleh-boleh saja. Namun, campur baur ini kalau sudah menjadi kebiasaan sebenarnya bukan hal yang baik menurut syariat. Berbeda dengan akhwat di Inggris, mereka sangat protektif dalam berinteraksi di dunia internet. Mereka cukup saling berinteraksi dengan sesama akhwat di social media. Makanya, cukup aneh apabila saat saya fesbukan dengan ikhwan-ikhwan di negara asing tersebut, akan terasa sepi dari keikutsertaan wanita muslimah. Namun, ketika berinteraksi internet dengan “ikhwan sendiri” di negara muslim ini, justru banyak dipenuhi komentator-komentator muslimah bukan mahram. Apakah kita kalah dengan rekan-rekan kita di Inggris itu?

Jangan sampai hanya karena pertemuan “syawalan” keluarga besar, kita “menyerah” dengan ikut ritual-ritual bid’ah atau maksiat.
Jangan sampai hanya karena undangan reuni kawan lama, kita turut “menyerah” dengan turut berfoto-fotoan dengan ikhtilath pada lawan jenis.
Jangan sampai hanya karena tuntutan pekerjaan, laki-laki muslim harus memangkas jenggotnya.

Jangan sampai hanya karena dorongan orang tua agar anak jadi PNS, seorang muslimah keluar dari fitrahnya di dalam rumah atau malah melepas hijabnya.
Jangan sampai kita “menyerah” ….

Penulis: Ginanjar Indrajati
Jelajah 7373018196344815957
Beranda item